Beranda | Artikel
Hukum Investasi Emas di Pegadaian
Senin, 1 Agustus 2016

Investasi Emas di Pegadaian

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits

Bagaimana hukum investasi emas di pegadaian. Skemanya, nasabah datang ke pegadaian untuk beli emas. Petugas pegadaian akan menunjukkan daftar harga emas terkini. Selanjutnya, nasabah menyebutkan berapa gram emas yang akan dia beli. Misalnya, harga emas ketika itu 500rb. Nasabah datang dg membawa uang 25 jt, shg cukup utk beli 50 gr emas.

Ketika nasabah menyerahkan uang 25 jt, pihak pegadaian tdk menyerahkan emas 50 gr, tapi hanya menerbitkan surat kepemilikan bahwa yang nasabah bersangkutan memiliki emas 50 gr dan dititipkan ke pegadaian.

Sehingga akad yg dilakukan adl beli emas lalu dititipkan ke penjualnya. Tapi emasnya tidak ada. Bagaimana hukum transaksi semacam ini?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah), yang bentuknya ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.

Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim 4147).

Bagian ketentuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang perlu digaris bawahi,

“Jika benda ribawi yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan dari tangan ke tangan (tunai).”

Kita bisa lihat semangat sahabat dalam menjaga aturan ini. Sampai mereka melarang pelaku transaksi berpisah selama akad belum diselesaikan.

Ibnu Syihab mengisahkan, Malik bin Aus bin Al-Hadatsan menceritakan bahwa pada suatu hari dia perlu menukarkan uang 100 Dinar (emas). Mengetahui keinginan ini, Thalhah bin Ubaidillah memanggilku, dan selanjutnya kami pun bernegoisasi hingga terjadi kesepakatan untuk tukar-menukar dinar. Setelah terjadi kesepakatan, Thalhah segera mengambil uangku dan mencermati uang Dinarku. Lalu ia berkata, “Aku akan berikan uang tukarnya ketika bendaharaku telah datang dari daerah al-Ghabah (satu tempat di luar Madinah sejauh +30 km).” Kala itu ucapan Thalhah didengar oleh sahabat Umar bin Khatthab.

Secara spontan Umar berkata kepadaku,

وَاللَّهِ لاَ تُفَارِقُهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –  الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ

“Demi Allah, janganlah engkau meninggalkannya (Thalhah bin Ubaidillah) hingga engkau benar-benar telah menerima pembayaran darinya.” Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas ditukar dengan emas adalah riba kecuali bila dilakukan dengan cara ini (tunai).” (HR. Bukhari 2174)

Pada riwayat lain, sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu lebih tegas lagi menjelaskan makna tunai yang dimaksudkan pada hadis tersebut atas, beliau mengatakan,

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satu dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan emas, salah satunya tidak diserahkan secara kontan sedangkan yang lainnya diserahkan secara kontan. Dan bila ia meminta agar engkau menantinya sejenak hingga ia masuk terlebih dahulu ke dalam rumahnya sebelum ia menyerah uang miliknya, maka janganlah sudi untuk menantinya. Sesungguhnya aku kawatir kalian melampaui batas kehalalan, dan yang dimaksud dengan melampaui batas kehalalan ialah riba.” (HR. Imam Malik dan Al-Baihaqi)

Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:

[1] Kelompok 1:

Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.

[2] Kelompok  2:

Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.

Aturan Baku yang Berlaku

Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan

Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,

Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst.  dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus

مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ

“takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai).”

Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”

Terdapat kaidah,

إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط

Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.

Jual Beli Emas di Pegadaian

Pada hakekatnya jual beli emas adalah tukar menukar antara emas dengan uang. Dan itu berarti tukar menukar barang ribawi yang illahnya sama, masih dalam satu kelompok. Syarat yang berlaku adalah harus dilakukan dari tangan ke tangan. Sehingga keduanya – uang dan emas – harus ada di tempat transaksi.

Pegadaian dalam hal ini tidak memiliki emas. Sehingga ketika nasabah menyerahkan uangnya, emas itu tidak ada. Ini jelas transaksi riba nasiah.

Utang dengan Nilai Dikonversi Emas

Dan jika kita perhatikan lebih dekat, hakekat dari transaksi yang bukan jual beli emas. Jika disebut jual beli emas, pegadaian berarti menjual barang fiktif. Karena sama sekali dia tidak memilikinya.

Sehingga yang terjadi adalah utang uang namun nilainya dikonversi mengikuti harga emas. Nasabah menyerahkan uang senilai 50 jt, dan dia hanya mendapat surat bukti kepemilikan emas senilai harga itu. Selanjutnya, ketika nasabah mengambil uang itu dan terjadi perubahan nilai mata uang, nasabah akan mendapatkan uang dengan nilai yang tidak sama seperti yang pernah dia setorkan ke pegadaian. Jika harga emas naik, nasabah akan mendapat keuntungan. Dan tentu saja, ini transaksi riba.

Karena itu, produk ini sangat tidak direkomendasikan. Dan kami sarankan, jauhkan diri anda dari semua bentuk transaksi benda fiktif, termasuk emas fiktif.

Allahu a’lam.

PengusahaMuslim.com

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5458-hukum-investasi-emas-di-pegadaian.html